Cerita
ini kutuliskan untuk pembaca, dengan harapan dapat mengambil hikmah.
Namaku Surti, usiaku 16 th. Mungkin bagi kalian, usiaku masih belum cukup dewasa
untuk menikah, tapi di kampungku, di pelosok kota Jogja, usiaku
merupakan usia yang sudah pantas untuk membentuk keluarga. Kata ibuku,
sebagai anak perempuan, aku harus segera mempunyai suami sehingga
hidupku terjamin, sampai nantinya aku akan melahirkan seorang anak
untuknya, meneruskan keturunan keluarga besar Susilo, tuan tanah di
desaku.
Ibuku
bilang aku adalah orang paling beruntung di desa karena dipersunting
oleh orang kaya lagi terhormat. Di pikiranku terbayang sebuah pernikahan
yang bahagia, suatu babak hidup yang baru, lembaran baru dan keluarga
baru, keluarga besar Susilo. Malam ini, malam pertamaku, malam
pernikahanku. Malam ini pula, aku menunggu suamiku membuka pintu kamarku
yang sampai sekarang masih tertutup. Beberapa saat kemudian, bunyi
pintu kamar yang terkuak menggugah lamunanku. Malam ini, malam
pertamaku, malam pernikahanku, kulihat sosok lelaki merengkuhku,
merenggut kesucianku yang memang kusediakan untuknya, suamiku.
Namaku
Surti, ah bukan, Ny. Susilo. Kemanakah Surti? tiba-tiba aku harus
menyandang nama lain yang asing sama sekali bagiku. Kata Ibuku, nama itu
cocok kusandang. Namaku Ny. Susilo, usiaku sekarang 21 tahun dan aku
belum melahirkan seorang anakpun bagi suamiku. Aku melihat ibu mertuaku
sering menatap tajam ke arahku, mulutnya nyinyir, mengeluarkan kotoran
kemana ia suka, mengeluarkan bau busuk dimanapun ia berada, di ruang
tamu, di dapur, di kamar, di WC, bahkan di rumah tetangga. Bau busuk,
hanya itulah yang keluar dari mulutnya dan aku tetap diam, begitu juga
suamiku. Suamiku bahkan mulai jarang pulang, bukan aku tidak tahu,
kemana ia pergi. Ke kompleks pelacuran, itulah tempat yang paling ia
suka.
Kompleks
pelacuran? Sejak kapan suamiku punya hobi pergi ke kompleks pelacuran?
Setahun yang lalu? dua tahun lalu? Tiga tahun lalu? Empat tahun lalu?
Lima tahun lalu? Atau sebelum itu? Anehnya, baik ibu mertuaku atau orang
tuaku malah menyalahkan aku. Bagaimana dengan Ayah mertuaku ?
lupakanlah, ia sudah mati jauh sebelum aku menikah dengan anaknya.
Intinya, akulah yang tidak becus meladeni suami, sehingga suamiku lari
ke pelukan pelacur itu. Apa lagi, aku mandul, itulah yang dibilang ibu
mertuaku, bau busuk yang ia sebarkan hampir di setiap sudut desa ini.
Percayalah, aku tidak mandul, tapi aku sungguh tidak tahu mengapa aku
tak kunjung hamil juga. Anehnya, suamiku sama sekali tidak memusingkan
hal ini, bukankah keturunan adalah hal yang paling penting dalam hidup
manusia? Malam itu suamiku baru saja pulang, entah dari mana, aku
pura-pura tidur ketika ia membuka pintu kamar.
“Kau sudah tidur?”
Suamiku
menyapaku! Hatiku bahagia sekali, sampai tidak bisa mengucapkan sepatah
katapun. Aku membalikkan tubuhku, kutatap matanya dalam-dalam.
“Belum mas” Jawabku. “Mas dari mana?”
Sungguh pertanyaan yang paling konyol yang pernah kuucapkan. Bukankah aku tahu ia baru kembali dari pelukan pelacur itu ?
“Kau tak perlu tahu, yang penting kau harus berpikir bagaimana bisa melahirkan seorang anak untukku!”
Jantungku
berdesir, sakit sekali seperti ditusuk dengan ribuan paku, bukan, lebih
dari ribuan paku. Aku membenamkan kepalaku dalam bantal, menangis tanpa
suara, suara yang tak pernah kumiliki walau sekedar untuk mengeluarkan
isi otakku. Aku tak pernah mempunyai suara. Selanjutnya, hari-hariku
seperti neraka saja, seluruh penduduk desa bergunjing tentang aku, bahwa
aku mandul, perempuan yang tidak sempurna. Aku juga melihat pelacur itu
selalu ceria, senyumnya membuat hatiku semakin terluka, seperti disayat
sembilu. Pelacur itulah, yang tidur dengan suamiku setiap malam, setiap
malam sebelum suamiku menjamah tubuhku. Ia membayar pelacur itu tiap
malamnya, sedangkan aku harus melayaninya seumur hidupku tanpa bayaran,
kecuali makian yang kudapat dari ibunya dan suamiku sendiri. Inikah
hidup baru yang dulu aku bayangkan? Yang kuimpikan dan kuidamkan? TIDAK
dan tentu saja aku takkan tinggal diam, karena aku adalah Surti.
“Dasar
pelacur!” Teriakku pada perempuan yang sekarang berdiri di depanku.
Hari itu aku tak bisa menahan diri untuk menemui perempuan itu di
kompleks pelacuran.
“Pelacur? Yah tentu saja aku pelacur dan asal kau tahu Ny. Susilo, aku bangga dengan profesiku.”
Mukaku memerah karena marah. Kuremas tanganku, ingin rasanya kutempeleng wajahnya.
“Kau telah merebut suamiku, kau memang perempuan murahan!”
“Merebut?
Suamimu sendiri yang datang padaku dan melayaninya adalah tugasku. Kau
salah alamat Ny. Susilo, kau harusnya mendamparat suamimu karena ia
tidak setia, bukan kepadaku!”
“Plak!”
Aku
menampar wajah perempuan itu, amarah tergambar jelas di wajahku. Namun
aku sungguh tak menyangka ia membalas tamparanku, bahkan lebih keras
dari tamparanku.
“Aku memang pelacur, tapi takkan kubiarkan satu orangpun melecehkan harga diriku”
Aku tertawa keras, berani sekali pelacur ini ngomong soal harga diri.
“Kau pikir kau lebih berharga dari aku, Nyonya? Katakan padaku apakah suamimu menghargaimu?”
Aku
tediam, tiba-tiba saja aku tak punya lagi kata-kata. Aku sudah kalah
dan aku pergi dari pelacur itu dengan kekalahan. Ya, kekalahan telak
seorang istri tuan tanah yang terhormat. Air mataku mengalir deras,
sesaat aku berpikir apakah gunanya aku hidup. Toh aku bukan istri
sempurna. Malam itu aku menunggu suamiku pulang, kali ini aku tidak
berpura-pura tidur, tak kupejamkan mataku walaupun sejenak. Akhirnya
suamiku pulang, kuhirup bau bandannya, bau parfum pelacur itu.
“Kau baru dari pelacur itu?” Tanyaku dan aku sangat terkejut dengan keberanianku menanyakan hal itu padanya.
“Iya.”
Hatiku
luluh lantak mendengar jawaban yang jujur itu, aku berharap ia
berbohong, sungguh aku ingin kebohongan yang manis walau beracun.
“Kau mengkhianati aku, mas.”
“Aku mencintai Widuri.”
Sungguh, aku berharap apa yang diucapkannya barusan adalah kebohongan tapi aku melihat kejujuran di mata itu.
“Aku menikahimu untuk melahirkan anak-anakku, tapi kau tak kunjung hamil juga.”
“Aku baru saja berpikir apa kau pantas menjadi ayah dari anakku kelak!”
Mata itu menatapku terkejut, akhirnya aku bersuara, akhirnya suaraku berguna juga.
“Lancang!”
Teriak suamiku sambil menempeleng aku, darah segar keluar dari sudut
bibirku. Aku tidak menangis, tidak, aku bersumpah takkan ada lagi
setetes air matapun untuknya. Suamiku beranjak pergi dari kamarku, malam
itu ia tidak kembali.
Lelaki
itu sedang duduk di ruang tamu dan menatapku penuh senyum, menyapaku
penuh kerinduan. Andi adalah teman sepermainanku sejak kecil, terakhir
aku bertemu dengannya adalah di hari pernikahanku.
“Gimana kabarmu Ti?”
“Baik, mas sendiri?” kataku balas bertanya
“Aku jadi buruh di Jakarta, hidup di Jakarta ternyata sulit Ti”
“Namanya juga kota besar mas”
“Aku
kembali ke sini justru karena aku dipecat, situasi pabrik kacau,
sebagian besar buruh dipecat dengan alasan kesulitan keuangan, kami para
buruh menggalang aksi mogok sampai berhari-hari karena nasib kami nggak
jelas. Eh, pemilik perusahaan malah minggat entah kemana.”
Aku tertegun sesaat, jadi buruh ternyata tak lebih baik dari pada jadi petani.
“Kami, para buruh ditelantarkan begitu aja, pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun terhadap nasib kami.”
“Sudahlah
mas, terima aja, mungkin emang nasibmu lagi apes. Nggak usah
macem-macem mas entar nasib kamu kayak Marsinah gimana?” Kataku ngeri
dengan kisah Marsinah yang mati karena dia terlalu vokal.
“Pokoknya aku nggak mau tahu Ti, kita emang miskin, tapi jangan diem aja kalo diperlakukan sewenang-wenang.”
Aku
diam aja, Andi emang sulit diajak ngomong kalo udah pakai kata
“pokoknya”, sulit diganggu gugat. Aku tak mau ambil pusing dengan
masalahnya, yang jelas aku sudah memberi nasihat padanya. Andi berniat
tinggal di desa selama beberapa bulan, kami memang cukup dekat, bahkan
ia pernah mau melamarku, namun ia tidak punya keberanian yang cukup
untuk itu. Apalah artinya seorang pemuda miskin bila dibandingkan dengan
mas Joko yang seorang tuan tanah.
Aku
tercenung sesaat ketika kutemukan selembar surat hasil pemeriksaan dari
Dokter. Kupikir suamiku sakit tapi ternyata aku salah, suamiku sama
sekali tidak sakit. Surat itu menyatakan bahwa suamiku mandul! Hatiku
bahagia sekaligus marah, suamiku yang mandul bukan aku! Aku ingin
berteriak pada semua orang bahwa aku tidak mandul bahwa suamikulah yang
mandul. Aku ingin mengatakan pada ibu mertuaku yang nyinyir itu bahwa
aku tidak mandul, bahwa anaknyalah yang mandul. Aku akan membuktikan
pada semua orang bahwa aku tidak mandul. Aku tertawa, namun sesungguhnya
aku menangis, yah aku menangis.
Suamiku
menatapku heran, ia terpana dengan surat pemeriksaanku dari dokter yang
menyatakan aku telah hamil dua bulan, wajahnya pucat pasi namun aku
merasakan kemenangan dalam hatiku.
“Aku
telah membuktikan bahwa aku tidak mandul” kataku. “Dan kau tak sanggup
membuktikan bahwa kau cukup subur untuk membuatku hamil.”
Aku melihat dengan jelas wajah suamiku memerah, entah karena malu atau marah. Mungkin keduanya.
“Dengan siapa kau mengandung, anak siapa bayi yang kau kandung,” tanya suamiku dengan suara gemetar.
“Apakah
itu penting? Bukankah keluargamu menginginkan keturunan? Dengarkan aku,
Joko Susilo, kau akan merawat, mengasuh darah daging orang lain dan
anak ini akan menjadi satu-satunya pewaris dari kekayaanmu.”
Inilah
hari kemenanganku. Aku tak peduli lagi dengan perselingkuhan yang
dilakukannya dengan Widuri, pelacur iru. Aku tak peduli. Suamiku harus
menutupi kenyataan dari semua orang, termasuk ibunya bahwa dia mandul
dan ia terpaksa menerima darah daging orang lain sebagai pewarisnya.
Inilah
pernikahanku. Sebuah pernikahan yang pernah aku idamkan sebagai
pernikahan yang penuh kebahagiaan namun ternyata penuh kemunafikan. Aku
telah mengandung dan semua gunjingan pun berakhir.
Ibu
mertuaku begitu bahagia, tanpa ia tahu bahwa bayi yang kukandung
bukanlah darah dagingnya. Semua keluarga begitu bahagia kecuali suamiku.
Namaku Surti, sebagai seorang perempuan aku harus menjaga kesucianku,
sebagai seorang istri aku harus mengabdi, menjaga kesetiaanku pada
suamiku dan sebagai seorang ibu aku harus mengasuh anakku siang dan
malam. Yah, itulah aku dan untuk semua itu hanya ada satu alasan, karena
aku adalah seorang perempuan. Namaku Surti, dan saat ini aku berada di
stasiun Lempuyangan, begitu banyak orang lalu lalang, melepas kepergian
salah satu keluarga mereka, mungkin suami mereka. Dan aku berdiri di
sini melepas kepergian kekasihku, Andi.
sumber:barubaca.com
No comments:
Post a Comment